
Berau – Aktivitas penambangan pasir di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, kini bukan hanya menjadi persoalan teknis pembangunan, melainkan pertaruhan atas kepatuhan terhadap hukum nasional dan tanggung jawab moral pemerintah daerah dalam menjaga kelestarian lingkungan. Di berbagai titik aliran sungai, terlihat aktivitas alat berat dan kapal pengeruk yang diduga kuat tidak mengantongi izin resmi. Tak ada papan pengumuman izin, tak ada pengawasan lingkungan yang ketat, dan minim keterbukaan informasi kepada masyarakat.
Di sisi lain, pasir adalah kebutuhan penting masyarakat. Ia menjadi bahan dasar pembangunan rumah, fasilitas umum, infrastruktur desa, hingga proyek strategis nasional. Jika pasokan pasir terhambat karena status hukumnya tidak jelas, maka masyarakatlah yang paling terdampak. Pelaku usaha lokal pun kini dilanda kebingungan mereka harus memenuhi permintaan pasar, tetapi tak tahu harus mengurus izin ke mana, karena tak ada kejelasan prosedur yang dijalankan pemerintah secara terbuka. Ini menciptakan dilema: di satu sisi dilarang, di sisi lain sangat dibutuhkan.
Dalam konteks ini, jelas bahwa bukan masyarakat atau pelaku usaha yang patut disalahkan, melainkan pemerintah daerah yang tidak hadir secara utuh dalam regulasi dan pengawasan. Ketika rakyat bertanya “kami harus beli pasir dari mana?”, maka jawabannya harus datang dari pemerintah, bukan dari makelar tambang ilegal atau dari pembiaran sistemik yang menjebak.
Padahal, secara hukum, jalur legalnya sangat terang.Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mewajibkan bahwa aktivitas pertambangan mineral bukan logam seperti pasir hanya boleh dilakukan dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari pemerintah provinsi atau pusat. Kabupaten tidak berwenang mengeluarkan izin IUP, dan jika melakukannya, itu adalah pelanggaran.
PP No. 96 Tahun 2021 mempertegas kewajiban pelaku usaha untuk memiliki AMDAL, rencana reklamasi, serta tunduk terhadap pengawasan dari Dinas ESDM, DLH, dan aparat hukum.
Dalam Permen ESDM No. 5 Tahun 2021, disebutkan bahwa sistem perizinan tambang berbasis risiko harus dilakukan melalui OSS-RBA secara nasional bukan sekadar izin dari kabupaten atau izin Berbadan usaha milik daerah.
Namun fakta di lapangan menunjukkan banyak tambang pasir yang beroperasi tanpa izin resmi dan berada di luar kontrol pengawasan. Pemerintah tampak belum menjalankan kewajiban pengawasan secara maksimal, bahkan dalam banyak kasus, muncul kesan pembiaran. Ini menciptakan celah hukum yang membuka peluang korupsi, konflik kepentingan, dan eksploitasi sumber daya yang tidak terkendali.
Tahun 2025 mencatat bahwa beberapa kampung di Berau mengalami bencana ekologis seperti banjir bandang, longsor, dan pencemaran air. Hal ini memperkuat dugaan bahwa eksploitasi pasir dan batu bara yang tidak terkendali telah memperparah kerusakan lingkungan, mengancam masyarakat yang tinggal di tepi sungai maupun di wilayah perbukitan.
Jika pejabat daerah baik eksekutif maupun legislatif membuat kebijakan yang bertentangan dengan regulasi nasional, maka mereka bisa dimintai pertanggungjawaban hukum.
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memuat sanksi pidana bagi pejabat yang lalai dan menyebabkan kerusakan.
Pasal 421 KUHP mengatur bahwa penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik dapat dikenai pidana jika merugikan rakyat dan melanggar hukum.
Beberapa waktu terakhir, muncul kabar bahwa DPRD Berau, pemerintah daerah, dan pelaku usaha tambang pasir telah membuka ruang komunikasi untuk memperbaiki legalitas tambang. Wacana mendorong pengurusan IUP, AMDAL, dan perizinan resmi mulai dibahas. Namun hingga kini, belum ada kebijakan konkret dan langkah eksekusi yang bisa memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha maupun perlindungan bagi masyarakat.
Penulis Fendy
Jika pemerintah benar-benar ingin menjadikan tambang sebagai sektor ekonomi legal dan berkelanjutan, maka komitmen politik dan keberanian hukum harus ditegakkan. Regulasi bukan formalitas administratif, melainkan penyeimbang antara kepentingan ekonomi dan hak hidup masyarakat. Yang dibutuhkan bukan lagi wacana, tapi tindakan: mulai dari penertiban tambang liar, audit lingkungan, hingga pembukaan jalur legal yang transparan bagi pelaku usaha lokal.**