
Berau, Kaltim — Pernyataan Kepala Kampung Balikukup, Lahumadi, yang menyebut pemberitaan terkait “misteri dana PLTS” sebagai hoaks dan menyesatkan, menuai sorotan tajam. Pasalnya, berita yang dimuat media pers justru bersumber dari keluhan nyata warga serta tokoh masyarakat yang menuntut transparansi pengelolaan dana iuran Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).Selasa (30/9/25)
Tidak hanya itu, Lahumadi bahkan sibuk membuat pengumuman di grup WhatsApp warga agar masyarakat tidak percaya dengan pemberitaan yang beredar. Ia secara terang-terangan menyebut berita yang dimuat media online beberapa hari lalu adalah hoaks alias bohong.
Dengan pernyataan tersebut, Kepala Kampung secara tidak langsung menuduh media menyebarkan informasi palsu. Padahal, pers hanya menjalankan fungsi jurnalistik sesuai kaidah, yakni menyuarakan keresahan publik. Kondisi ini dinilai dapat merugikan nama baik media, karena memposisikan mereka seolah penyebar kebohongan.
Kesalahan fatal Kepala Kampung tampak jelas. Alih-alih menjawab substansi soal aliran dana yang menjadi pertanyaan warga, ia justru menyerang kredibilitas pers. Label berita palsu dilontarkan tanpa dasar hukum yang kuat. Jika memang keberatan terhadap pemberitaan, seharusnya ia menempuh jalur hak jawab melalui redaksi atau mekanisme Dewan Pers, bukan menuding di ruang publik.
Lebih jauh, ancaman dengan dalih UU ITE juga dinilai sebagai upaya intimidasi. Padahal, media dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang memberi hak untuk memberitakan fakta serta menjamin hak jawab bagi pihak yang merasa dirugikan. Bukannya memberikan klarifikasi yang diharapkan warga, Kepala Kampung justru menyerang media-media yang membantu mendorong keterbukaan antara warga dan pemerintah kampung.
Perlu ditegaskan, media yang memberitakan kasus PLTS Balikukup berpegang pada data nyata: iuran warga, jumlah dana yang tersisa, hingga keluhan dan harapan masyarakat atas ketiadaan laporan keuangan terbuka. Semua itu berdasarkan wawancara langsung dengan warga dan tokoh masyarakat lewat sambungan telepon. Dengan dasar tersebut, pemberitaan jelas sah secara jurnalistik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Sejumlah warga Balikukup pun menanggapi keras pernyataan Lahumadi.
> “Kami tidak pernah bilang berita itu bohong. Justru kami yang menyampaikan keresahan ke wartawan karena sampai sekarang tidak ada laporan jelas soal dana PLTS,” ungkap Syarifuddin, salah satu tokoh masyarakat.
Hal senada disampaikan warga lainnya.
“Kalau memang tidak ada masalah, kenapa takut buka laporan? Jangan malah sibuk bilang berita itu hoaks. Kami cuma ingin tahu uang iuran kami dipakai untuk apa,” kata Rosmiati, warga Balikukup.
Pernyataan Lahumadi di grup WhatsApp warga kampung yang secara langsung menyudutkan media pers kini menjadi catatan serius. Beberapa media bahkan berencana meminta pertanggungjawaban atas tuduhan yang dilontarkannya.
Hal ini menyimpulkan berbagai asumsi bahwa Kepala Kampung tidak memahami perbedaan antara produk jurnalistik yang berlandaskan fakta dengan gosip liar di media sosial.
Kini, persoalan yang seharusnya dijawab Kepala Kampung bukanlah kredibilitas pers, melainkan keterbukaan laporan dana PLTS yang terus dipertanyakan masyarakat. Ironisnya, ia justru lebih sibuk menyerang media ketimbang menjelaskan secara detail terkait total iuran serta pengeluaran anggaran PLTS Balikukup.*** Fen