
Berau, Kaltim — Praktik kapal motor kayu yang difungsikan ganda sebagai pengangkut barang sekaligus menerima penumpang antar pulau Sulawesi–Kalimantan kembali menjadi sorotan. Aktivitas ini diduga kuat melanggar regulasi pelayaran yang berlaku.
Salah satunya adalah kapal Mega buwana motor kayu berukuran GT 379 yang rutin berlayar dari Sulawesi Tengah menuju Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Kapal ini sejatinya berstatus sebagai kapal barang yang biasa mengangkut hasil bumi seperti kelapa, jagung, hingga pupuk. Namun, kenyataannya kapal juga kerap membawa penumpang dalam jumlah cukup banyak, berkisar 30 hingga 50 orang setiap pelayaran.
Dari informasi lapangan, penumpang dikenakan tarif sekitar Rp350 ribu per orang. Dari arah Sulawesi, kapal biasanya berangkat melalui Pelabuhan Tolitoli, sementara di Kalimantan Timur kapal bersandar di pelabuhan milik seorang pengusaha berinisial HC di Tanjung Redeb, Berau.
Praktik ini jelas berpotensi menyalahi aturan. Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, setiap kapal wajib beroperasi sesuai izin dan sertifikat yang dimilikinya. Kapal barang tidak diperbolehkan mengangkut penumpang tanpa izin resmi dan pengesahan dari Kementerian Perhubungan serta otoritas syahbandar.
Selain itu, Keputusan Menteri Perhubungan No. 65 Tahun 2009 menegaskan kapal kayu termasuk kategori non-konvensi (NCVS) yang tetap wajib memenuhi standar kelaiklautan. Standar tersebut mencakup pemeriksaan struktur kapal, stabilitas, hingga kelengkapan keselamatan seperti jaket pelampung, alat pemadam kebakaran, serta peralatan komunikasi darurat.
“Kalau kapal hanya memiliki sertifikat barang, maka penumpang di luar kapasitas resmi dianggap tidak sah. Itu berisiko terhadap keselamatan,” ungkap salah seorang pejabat pelabuhan yang enggan disebut namanya.
Otoritas pelabuhan sebenarnya memiliki kewenangan untuk menahan keberangkatan kapal yang belum memenuhi persyaratan keselamatan. Namun, di lapangan, alasan kebutuhan transportasi masyarakat antar pulau sering dijadikan pembenaran. Akibatnya, praktik ini sudah berlangsung bertahun-tahun tanpa kejelasan sikap dari instansi berwenang.
Situasi ini menjadi catatan penting bagi KUPP (Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan), Dinas Perhubungan Provinsi, hingga Kementerian Perhubungan Laut, mengingat kapal khusus barang tetap dioperasikan untuk penumpang tanpa dokumen resmi. Padahal, risiko kecelakaan di laut selalu mengintai, sementara para penumpang tidak tercatat sebagai pengguna jasa resmi yang dilindungi asuransi jiwa.
Hal ini sangat berbeda dengan layanan KM Perintis atau moda transportasi resmi lainnya yang memang diperuntukkan bagi penumpang, memiliki rute tetap, serta berada dalam pengawasan pemerintah.
Dengan kondisi ini, publik menilai pengawasan syahbandar benar-benar sedang diuji. Bila dibiarkan, praktik serupa bukan hanya mengabaikan regulasi, melainkan juga mempertaruhkan keselamatan jiwa warga di jalur laut antar pulau.
Penulis: Fen