
Pesisir Selatan – Polemik penggunaan lahan di lokasi Transmigrasi Tanjung Gadang, Nagari Amping Parak Timur, Kecamatan Sutera, Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel), Sumatera Barat, kembali mencuat. Warga menegaskan bahwa sebagian lahan di kawasan tersebut adalah aset nagari, bukan lahan transmigrasi.
Okiang, salah seorang warga setempat, mengatakan bahwa lahan tersebut kini justru dikuasai oleh sekelompok oknum untuk perkebunan sawit. Ia mendesak agar lahan itu segera dikembalikan kepada nagari.
“Sekarang lahan tersebut diolah sejumlah oknum masyarakat di lokasi transmigrasi untuk berkebun sawit. Bahkan kegiatan ini sudah berlangsung sekitar 15 tahun. Kami berharap tanah ini dikembalikan ke nagari agar jelas pertanggungjawabannya melalui Badan Usaha Milik Nagari (BumNag) atau diserahkan ke pemuda nagari,” ujarnya saat menyampaikan aspirasi di Kantor Wali Nagari Amping Parak Timur, Rabu (20/8/2025).
Menurut Okiang, persoalan ini sudah sering dilaporkan kepada pemerintah nagari, namun hingga kini belum ada titik terang. Menurutnya, jika dibiarkan berlarut-larut, maka persoalan ini akan menjadi konflik di tengah masyarakat.
Tokoh masyarakat setempat, Asril Datuak Putiah, mengatakan lokasi transmigrasi di Tanjung Gadang sudah ada sejak 1994. Namun di kawasan itu juga terdapat lahan milik nagari yang dulunya dipetakan sebagai fasilitas umum, kini justru beralih menjadi lahan milik pribadi.
“Dulunya itu merupakan lokasi transmigrasi nasional yang dipetakan pemerintah pusat untuk fasilitas umum. Tapi ada sebagian lahan yang digarap dan dijadikan milik pribadi oleh sejumlah oknum. Saya sebagai putra daerah tentu tidak bisa membiarkan hal ini terjadi,” kata Asril, yang juga Anggota DPRD Pessel.
Asril menyebut persoalan lain yang muncul adalah praktik jual beli tanah tanpa sepengetahuan pemerintah nagari. Saat ini, kata dia, jumlah rumah masyarakat di lokasi tersebut telah bertambah menjadi 28 unit, dari sebelumnya hanya 7–8 KK pada tahun 2009.
“Awalnya hanya ada beberapa rumah saja, tapi sekarang sudah puluhan. Siapa yang memberi mereka izin? Kenapa bisa berbondong-bondong masuk? Ini jelas menyalahi aturan. Ada Permendagri Nomor 18 Tahun 2018 tentang tamu wajib lapor, seharusnya itu dipatuhi,” ucapnya lagi.
Ia menjelaskan, bahwa situasi ini dinilai masuk dalam kategori konflik agraria karena menyangkut tumpang tindih penguasaan lahan, antara kepentingan program transmigrasi dengan hak ulayat atau aset nagari. Masyarakat setempat merasa dirugikan karena lahan yang mereka klaim milik nagari, justru dikelola pihak lain tanpa koordinasi dan hasilnya tidak pernah dilaporkan.
“Semua aset nagari harus dikelola oleh nagari, tidak boleh pihak lain. Kalau dibiarkan, ini bisa memicu konflik horizontal. Kami tidak ingin masyarakat bentrok hanya karena masalah lahan,” ujar Asril.
Pada kesempatan itu, Kabid Transmigrasi Dinas Perdagangan dan Transmigrasi Pessel, Novi Irawan, menyebutkan pihaknya akan menelusuri status lahan tersebut lebih jauh.
“Perlu dilihat dulu apakah statusnya hak pakai atau hak milik. Itu harus dibuktikan sesuai aturan. Kami baru mengetahui persoalan tersebut hari ini, dan tentunya kami dari pihak pemerintah akan berupaya mencarikan solusi terbaik,” katanya.
Sementara itu, Kapolsek Sutera, Iptu Manatap Manik, mengingatkan agar semua pihak menahan diri dan tidak melakukan tindakan sepihak.
“Kami dari pihak kepolisian berkewajiban menjaga kondusifitas. Persoalan lahan ini jangan sampai menimbulkan konflik baru di tengah masyarakat. Jika ada dugaan pelanggaran hukum, tentu akan kami tindaklanjuti sesuai ketentuan. Yang jelas, penyelesaiannya harus melalui jalur resmi, bukan dengan cara main hakim sendiri,” tegasnya.
Kapolsek juga meminta masyarakat mempercayakan penyelesaian persoalan ini kepada pemerintah nagari, kecamatan, dan kabupaten.
“Kami khawatir jika masalah ini terus berlarut tanpa kepastian, akan memicu konflik agraria yang lebih besar. Karena itu, semua pihak harus duduk bersama mencari jalan keluar,” tambahnya.
Untuk menghindari konflik berkepanjangan, masyarakat meminta pemerintah nagari segera menerbitkan Peraturan Nagari (PerNag) sebagai payung hukum. Aturan ini diharapkan mampu menegaskan kembali status lahan, siapa yang berhak mengelola, dan bagaimana hasilnya harus dipertanggungjawabkan.